#Mozaik 20: Wang Sinawang

urip iku mung sawang sinawang.

mula aja mung nyawang sing kesawang.

Artinya,

hidup itu hanya tentang saling melihat

maka jangan hanya melihat apa yang terlihat.

Sepertinya, wang sinawang secara tidak disadari menjadi bagian dalam kehidupan sebagian besar orang, termasuk mungkin diri kita sendiri. Melihat apa yang tampak dari orang lain, kemudian membandingkannya dengan diri sendiri. Terkadang, hingga muncul rasa iri yang tak diakui. “ah, dia mah enak bla bla bla.. lha gue?!” Ada juga yang memandang rendah dirinya dan merasa dirinya tidak seberharga orang lain yang dilihatnya. “gue cupu banget ih, belum bisa bermanfaat buat orang-orang. nggak kaya dia, keren banget.” Meskipun sebenarnya banyak yang telah dilakukannya. Hanya saja, ia tidak mengakuinya karena tidak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan orang yang dilihatnya. Ya kalau jadi semangat dan mengoreksi celah kekurangan, mengoptimalkan potesi yang dipunya, tentu itu adalah hal yang baik. Sayangnya, yang seperti itu seringnya berakhir pada merutuki diri sendiri dan na’udzubillah menjadi kufur akan nikmat yang telah Allah berikan.

***

Saya jadi teringat perkataan kakek, yo dhisik ki karepe ngono, tapi yo rapopo. saben wong ki wis dijatah masing-masing. ditempuhke karo kebisaane dhewe-dhewe. Gusti Allah ki adil. (ya dulu juga inginnya seperti itu, tapi ya tidak apa-apa. Setiap orang mempunya bagiannya masing-masing. dipertemukan dengan kemampuannya sendiri-sendiri. Allah itu adil).

Jika kita tidak mendapatkan apa yang orang lain dapatkan; jika keadaan kita dirasa tidak sebaik milik orang lain yang kita lihat; bukan berarti kita berada di bawah atau lebih buruk darinya. Kita hanya memiliki bagian yang berbeda darinya saja. Allah itu adil, akan memberikan yang sesuai dengan kemampuan kita untuk menerimanya. Melihat orang lain untuk memotivasi diri sendiri itu baik, tetapi jangan sampai membuat kita merasa iri kemudian mengabaikan nikmat yang telah Allah berikan. Yang terpenting juga, jangan hanya melihat dari apa yang terlihat saja. Lihat apa yang ada dibaliknya, mungkin dari sana kita bisa mendapatkan lebih banyak hal yang bermanfaat.

Semoga kita tidak menjadi bagian dari golongan orang yang kufur. 🙂

4 September 2017: 11.20

#Mozaik 19: Ridha

Several researchers have concluded that there are reciprocal relationships between parental supervision and deliquency. (Jang & Smith, 1997; Paternoster, 1988).

Jika melihat dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa pendampingan orangtua dan perilaku kenakalan anak sebenarnya memiliki hubungan timbal balik. Bagaimana ceritanya?

Begini ceritanya…

Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, koflik keluarga dan lemahnya pengasuhan orangtua (kurangnya pengawasan, kelekatan, dan bonding antara orangtua-anak) dapat menyebabkan munculnya perilaku agresif atau kenakalan anak di masa yang akan datang. Di sisi lain, penelitian yang lainnya pun menemukan bahwa pola pengasuhan orangtua ternyata dipengaruhi juga oleh karakter anak. Contohnya, saat anak sulit mengikuti aturan di rumah, orangtua akan menggunakan teknik pengasuhan yang keras bagi anak. Dengan demikian, dalam konteks kutipan di atas, pola pengasuhan atau pendampingan orangtua dan perilaku kenakalan anak ini sebenarnya saling mempengaruhi. Timbal balik.

Membaca uraian di atas, saya jadi teringat akan penjelasan konsep “Ridha” dalam artikel yang ditulis oleh Ibu Septi Peni Wulandari. Mungkin hadist ini familiar bagi kita semua dan ini yang selalu saya pegang teguh

“Ridha Allah tergantung pada ridha orangtua dan murka Allah tergantung pada murka orangtua” (H.R. At Tirmidzi)

Ibu Septi Peni Wulandari juga merumuskan siklus perilaku anak dan ridha orangtua.

Saat anak berbuat baik dan orangtua ridha, Allah akan turut meridhai keluarga tersebut dan kehidupan keluarga yang baik akan memunculkan perilaku yang baik dalam diri anak. Sebaliknya, saat anak berbuat tidak baik dan mengecewakan orangtua, akan muncul kemarahan (tidak ridha) dari orangtua yang akan mempengaruhi kemarahan Allah dan menjadikan keluarga tidak bahagia. Konflik dalam keluarga ini akan semakin menguatkan perilaku anak yang tidak baik.

ridha

(sumber gambar: FB)

Dari siklus tersebut, saya menyimpulkan bahwa sebenarnya, perilaku anak (baik ataupun buruk) dipengaruhi oleh ridha dan murka dari kedua orangtuanya.

Saya memaknai ridha ini sebagai bentuk penerimaan dan kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Ridha ini juga yang akan mempengaruhi perasaan dan perilaku orangtua yang akan termanifestasi dalam pola pengasuhan anak. Saat orangtua meridhai anaknya, maka mereka akan mendo’akan kebaikan untuk anaknya, menunjukkan sikap yang hangat dan penuh kasih sayang terhadap anaknya, dan memiliki pola pengasuhan yang positif. Akan tetapi, saat orangtua tidak ridha -yang ditunjukkan dengan kemarahan atau kemurkaan-, perilaku yang ditunjukkan akan cenderung negatif dan hal ini juga turut mempengaruhi pola pengasuhan orangtua terhadap anak. Pola pengasuhan yang buruk, kelekatan yang tidak terbangun akan memunculkan sikap anak yang semakin buruk. Oleh karena itu, saat anak melakukan kesalahan, orangtua yang ridha adalah orangtua yang mampu memaafkan kesalahan anak, merangkul, dan membuka ruang dialog. Untuk dapat melakukannya, orangtua perlu memahami setiap karakter dan tugas perkembangan, serta menerima kekurangan anaknya.

Tentang “Ridha” orangtua ini pula, saya teringat perkataan Bapak yang sangat sering diulang-ulang,

“Dek, do’ane ibumu ki ampuh lhoh!”

 

***

Sungguh, menjadi orangtua memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Kemuliaannya-lah yang menjadikan setiap orangtua perlu untuk terus belajar dan berproses, meluaskan batas kesabaran untuk menerima dan memaafkan setiap kesalahan yang dilakukan anak, dan meneguhkan konsistensi untuk selalu mengingatkan anak-anaknya dalam kebaikan.

Semoga kita dimampukan ya, Pak.. (ngomong sama siapa, Buuu??!!)

 

Tulisan random diantara jurnal-jurnal,

16 Juni 2017: 23.01

 

#Mozaik 18: Keluarga adalah Obat Utama

kunjungan keluarga.jpeg

Masih ingat sedikit cerita tentang Bu Mawar di #Mozaik 17 ? Cerita beliau dan sedikit disebutkan tentang pasien baru di bangsal kami, sebut saja namanya Lolita.

Lolita adalah pasien baru di bangsal kami. Ketika datang pertama kali, bicaranya gagap dan sangat tidak jelas. Misalnya: “o i a” untuk menyebutkan “Lolita” atau “i a” untuk “iya”. Jadi, di awal kami lebih sering berinteraksi dengan tulisan. Ketika menulis, banyak hal yang ia ceritakan. :’)

Di awal-awal kehadirannya, Lolita masih cukup mengkhawatirkan karena tiba-tiba akan berjalan menuju pintu keluar. Pulang. Oleh karena itu, ia sering diikat di kursi atau tempat tidur supaya aman. Setiap kali ada perawat atau praktikan datang, ia akan memegangi tangan mereka seolah ada yang ingin disampaikan namun tidak ada yang diucapkan, selain tatapan matanya kepada kami.

Namun, beberapa hari ini aku sangat senang melihat perkembangannya. Tiga hari ini, bicaranya sudah sedikit lebih banyak, senyumnya juga semakin sering. Manis. Sesekali ia membantu perawat dan pasien lain untuk menyapu ruangan, inisiatif meminta obat kepada perawat. Bahkan, kemarin ia memelukku! Ketika aku sedang duduk dengan praktikan lain, ia menghampiri dan menyalami kami satu persatu. Tiba giliranku, ia menyalamiku dan memelukku. “e er” (geser maksudnya) aku bergeser dan dia duduk di sampingku memegangi tanganku. Temanku bertanya, “Lolita kangen Ibu?” dan dia menjawab “i a” dan kami saling bercerita.. baiklah, ternyata mungkin ia mengira aku adalah ibunya :3

Kami cukup amazing dengan perkembangannya. Ditambah kemarin ia tanpa diminta menghampiri pasien lain dan meminta maaf sambil memeluknya karena tidak sengaja menghilangkan barang pasien lain itu. Hari ini pun ia membantu pasien lain membereskan tempat tidur dan menyapa dengan anggukan ketika berjalan. Dan kalian tahu apa yang membuatnya berkembang sedemikian baik?? perkembangannya itu terjadi sejak keluarga Lolita datang tiga hari lalu. Ternyata, kehadiran keluarga Lolita memberikan suntikan semangat bagi Lolita dan mempengaruhi perkembangan dirinya. :’)

See? Bagaimanapun kondisi seseorang.. aku selalu pada kesimpulan: Keluarga adalah obat yang utama untuk setiap keadaan. ❤

Keluarga adalah obat yang utama untuk setiap keadaan

Asrama Mahasiswa RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat, 20.02

#Mozaik 17: Ojo nganti kalah!

karya pasien.jpg

Bisa dikatakan, praktik di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) merupakan hal yang paling bikin “deg-degan”. Kenapa? Karena aku sendiri -sangat- jarang berinteraksi dengan orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) psikotik, seperti Skizofrenia. Mungkin orang lain akan mengatakan aku lebaytapi kenyataannya adalah setiap hari aku hampir menangis karena melihat tingkah pasien di RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat, Lawang, ini. Tentunya, tangis karena perasaan malu dan seperti diingatkan untuk terus bersyukur.

Ada beberapa unyu momen dan momen-momen lain yang membuatku terharu, terus mengevaluasi diri, baik dari kekhilafanku atau mungkin lingkungan sekitarku yang kondisinya lebih “sehat” dibandingkan mereka. Berikut adalah sedikit di antara unyu momen yang ada di bangsalku..

Pertama, adalah seorang Ibu berusia 50 tahun sebut saja namanya Bu Melati. Dibandingkan pasien dewasa akhir lainnya, menurutku Bu Melati sudah memiliki rawat diri dan interaksi sosial yang jauh lebih baik dibandingkan pasien lainnya. Setiap pagi, beliau rajin menyapu dan mengepel bangsal. Pada jam-jam makan, beliau selalu membantu perawat menyiapkan makanan diet per nama pasien, menata piring sendok di meja makan, dan memanggil teman-temannya. Jika ada laundry datang, beliau tanpa diminta datang dan membantu membawa laundry ke dalam ruangan. Saat ada pasien lain yang memuntahkan makanannya ke lantai, ia segera mencari kain pel dan membersihkan lantai, tanpa banyak bicara. Ketika kami sedang mewarnai bersama, seorang pasien kumat gaduh gelisahnya, teriak-teriak dari dalam kamar. Beliau kemudian berkata, “Bu dokter, daripada dia teriak-teriak, kita ajak gambar aja..”. Untuk pasien dengan skizofrenia, tentu itu adalah suatu kemajuan yang sangat membahagiakan. Kondisi yang demikian tentu sangat memenuhi syarat untuk meninggalkan rumah sakit. Lalu, kenapa beliau masih tinggal? karena beliau tidak punya keluarga. 😥 Saat aku meminta beliau menuliskan sebuah surat, beliau menuliskan surat untuk anak-anaknya.. Untuk seseorang yang banyak bekerja dan sangat sedikit bicara, aku sangat tidak menyangka tulisannya sedalam yang ada di surat tersebut. Tulisannya sangat jelas dan rapi. ❤

Kedua, adalah seorang Ibu berusia 40an tahun sebut saja namanya Bu Mawar. Dibandingkan dengan Bu Melati, beliau memiliki rawat diri yang kurang baik. Setiap hari, yang beliau lakukan adalah duduk di teras ruang, berjalan, dan pindah ke sofa dalam. Kemudian, dari sofa berjalan ke teras dan begitu sebaliknya, seterusnya. Sejak datang ke RSJ, beliau sangat jarang berbicara. Bahkan mungkin ketika berbicara, tidak ada suara yang keluar. Tatapannya sangat tajam kepada orang-orang di sekitarnya, paranoid. Akan tetapi, beliau sangat paham dengan apa yang terjadi dan dibicarakan di sekitarnya. Ketika perawat meminta tolong sesuatu, dengan sigap meski gerak yang begitu lemah, ia akan berangkat dan membantu. Setiap mobil pengantar laundry atau makanan datang, dengan diamnya beliau akan berdiri dan membawa barang-barang masuk ke dalam. Setiap hari, aku coba mengajaknya berbicara, menggambar, mewarnai, dan tadi sedikit-sedikit beliau mau berbicara tanpa suara. :’) Sampai akhirnya ketika bangsal kami kedatangan pasien baru. Pasien yang kondisinya tidak jauh berbeda dengannya namun usianya terpaut cukup jauh. Aku melihat bagaimana beliau sangat sayang kepada pasien baru ini. Beliau mengajaknya duduk bersama dan membantu berdiri ketika akan makan. Tadi siang, pasien baru ini mengalami gaduh gelisah. Ketika aku menghampirinya, ia memegang tanganku erat dengan ekspresi yang mengisyaratkan sesuatu namun ia tidak dapat menyampaikannya. Sejenak kutinggalkan setelah tenang, aku kembali ke kamar dan ternyata ia berpindah tempat tidur ke tempat Bu Mawar. Pasien tersebut tidur di samping Bu Mawar dan keduanya saling berpelukan.Mereka melakukannya tanpa banyak bicara. Keduanya berbicara dari hati..

Ketiga, adalah seorang Ibu berusia 27 tahun yang bernama Ibu Matahari. Meski beliau memiliki gangguan kejiwaan, beliau selalu menjalankan sholat lima waktu. Setiap kali dokter datang, beliau selalu menagih Al Qur’an karena sangat ingin membaca Al Qur’an. Dari dalam kamar mereka, sering terdengar tartil beliau ketika sedang membaca Al Qur’an. Beliau dan teman-teman yang lain juga sering menyenandungkan shalawat bersama-sama, bahkan ketika ada pasien lain yang berteriak-teriak dari dalam kamar.

Tentu, kehidupan di sini tidak melulu se-unyu yang tertulis di sini, tapi aku hanya ingin mengatakan bahwa kita pun bisa belajar dari mereka. Setidaknya, belajar untuk bersyukur dengan berbuat baik pada sesama dan terus mengingat Allah. Mereka saja bisa.. :’)

Asrama RSJ dr. Radjiman Wediodinigrat, 13 Oktober 2016 : 22.42

Stop Labelling pada Anak!

labelling

“anaknya pemalu, Mbak..”,

“dasar anak bodoh!”,

“kamu, nakal banget sih..”

Dalam kehidupan sehari-hari, kata-kata tersebut mungkin tidak asing bagi kita. Baik mendengar dan melihat tanpa sengaja, atau bahkan mungkin kita sendiri yang melakukannya. Hal tersebut merupakan tindakan labelling, yaitu pemberian suatu kata atau atribusi untuk menggambarkan keadaan seseorang terkait dengan perilaku, kondisi fisik, atau intelektual. Labelling telah menjadi suatu hal yang biasa dan sering dilakukan oleh orangtua atau orang dewasa kepada anak. Selain itu, pemberian label juga dianggap sebagai hal yang wajar dan bukanlah sesuatu yang serius karena tidak begitu tampak dampak negatif dari adanya labelling ini.

Seseorang cenderung lebih mempercayai bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya dibandingkan penilaiannya sendiri. Mungkin hal tersebut juga terjadi pada kita. Begitu juga pada anak yang mendapatkan label dari lingkungan sosialnya, khususnya label negatif. Label negatif yang diberikan pada anak secara terus menerus akan terinternalisasi dan mempengaruhi konsep diri atau bagaimana cara anak memandang dirinya sendiri. Ia akan memiliki pandangan mengenai dirinya sebagaimana yang orang lain sebutkan. Terlebih lagi, jika label tersebut didapatkan dari orangtua atau anggota keluarga terdekatnya. Anak akan semakin mempercayai label yang diberikan kepadanya.

Konsep diri yang telah terpengaruh oleh label tersebut akan mempengaruhi anak dalam bertingkah laku. Anak yang diberikan label “pembohong” akan cenderung untuk terus berbohong karena ia merasa orang lain telah meyakininya sebagai pembohong sehingga tidak akan ada orang yang percaya jika ia bersikap jujur. Begitu juga dengan label-label negatif yang lain. Ketidaksiapan anak dalam menerima label tersebut dapat membuat anak memiliki kecemasan, kepercayaan diri yang rendah, keengganan untuk mengeksplorasi diri, atau bahkan depresi.

Adanya pemberian label negatif juga akan menyebabkan orangtua atau lingkungan sekitarnya mengabaikan potensi yang dimiliki anak.

“Adanya pemberian label negatif juga akan menyebabkan orangtua atau lingkungan sekitarnya mengabaikan potensi yang dimiliki anak.”

Misalnya, ketika orangtua melabel anaknya sebagai “anak bodoh”, orangtua akan memberikan pekerjaan yang sederhana kepada anak karena mereka berpikir bahwa anaknya tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaan yang sulit. Hal tersebut akan menyebabkan anak semakin kekurangan stimulasi dari lingkungannya sehingga potensi anak akan semakin tidak berkembang. Pemberian label kepada anak juga akan mempengaruhi bagaimana sikap orangtua kepada anaknya. Orangtua yang melabel anaknya sebagai “anak pembohong” akan sulit mempercayai apa yang dikatakan dan dilakukan oleh anaknya. Orangtua akan memiliki sikap curiga terus menerus kepada anaknya yang dapat memunculkan permasalahan lain, seperti sikap berontak anak terhadap orangtua.

Lalu, apa yang dapat orangtua atau lingkungan lakukan agar anak tidak mendapatkan label negatif yang dapat menganggu proses perkembangannya?

Pertama, berikanlah respon yang spesifik mengenai perilaku anak, bukan kepribadiannya. Jika anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, jangan langsung memberikan label negatif karena anak akan mempersepsikannya sebagai gambaran dirinya. Jika anak membuat temannya menangis atau marah, jangan tergesa untuk memberikan label “nakal” pada mereka. Akan tetapi, berikan respon dengan mengatakan bahwa apa yang ia lakukan salah, misalnya “itu kan bukan mainan kamu, jika ingin pinjam minta izin dulu, tidak dengan merebut seperti itu..”.

Kedua, pergunakan label untuk hal-hal yang berhubungan dengan bidang pendidikan atau perkembangan anak. Ketika orangtua merasa atau anak dinyatakan memiliki keterlambatan dalam proses belajar, orangtua dapat meluangkan waktunya untuk mendampingi anak dalam belajar dan memberikan stimulasi yang tepat untuk meningkatkan kemampuan anak.

Ketiga, berikan apresiasi positif atau hukuman secara tepat dan tidak berlebihan. Apresiasi dapat meningkatkan perilaku yang diharapkan, sementara hukuman dapat mengurangi perilaku yang tidak diharapkan apabila diberikan secara efektif. Dalam menyampaikan apresiasi atau hukuman, sebaiknya juga disertai dengan adanya pemahaman yang disampaikan kepada anak sehingga ia tahu mengapa ia mendapatkan apresiasi dan hukuman.

Keempat, munculnya label negatif pada anak seringkali tidak disadari oleh orangtua karena adanya rasa marah atau terbatasnya kesabaran dalam mengasuh anak. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk dapat mengelola emosinya ketika menghadapi anak. Apabila orangtua merasa bahwa dirinya tidak lagi mampu menahan marah, lebih baik menarik diri hingga emosi reda. Jika label negatif tanpa sengaja terucap, jangan ragu untuk menyadari kesalahan dan meminta maaf. Hal tersebut secara tidak langsung juga akan memberikan proses pembelajaran kepada anak.

“Jika label negatif tanpa sengaja terucap, jangan ragu untuk menyadari kesalahan dan meminta maaf. Hal tersebut secara tidak langsung juga akan memberikan proses pembelajaran kepada anak.”

Kelima, menerima anak apa adanya. Munculnya label negatif dari orangtua kepada anak seringkali karena ketidakmampuan orangtua dalam memahami atau menerima kondisi anak. Penting adanya penerimaan terhadap anak sehingga ketika apa yang dilakukan anak tidak sesuai dengan yang diharapkan, orangtua tidak mudah memberikan label pada anak.

***

Ditulis dan dimuat di Selasar.com

Waspadai Bullying Era Modern: Cyberbullying

cyberbullying

Bagi para pengguna media sosial, sepertinya sudah tidak asing lagi dengan komentar-komentar kasar atau meme-meme yang ber-seliweran di internet dengan nada menghina. Terlebih lagi, pemberitaan yang mengundang reaksi-reaksi negatif dari para peselancar dunia maya. Mulai dari kasus pelajar di Medan yang memaki-maki polisi hingga yang terbaru belakangan ini, seorang pelajar yang mengadukan gurunya ke ayahnya sehingga berurusan dengan polisi dan foto serta akun media sosialnya tersebar di mana-mana. Dua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari banyaknya pemberitaan yang memancing reaksi negatif dan seakan tidak terkontrol.

Hal tersebut dapat terjadi karena penggunaan media sosial bersifat anonim, memiliki jangkauan yang luas, dan dapat diakses oleh siapa saja. Di Indonesia sendiri, pada bulan Januari 2016 lalu pengguna aktif media sosial sebanyak 79 juta dari total populasi 259,1 juta penduduk. Artinya, 30 persen penduduk Indonesia merupakan pengguna aktif media sosial. Dengan jumlah sebanyak itu, tentunya interaksi di media sosial menjadi tidak terkontrol dan dapat memicu terjadinya cyberbullying, yaitu tindakan agresif yang sengaja dilakukan oleh individu atau kelompok menggunakan media elektronik secara berulang dan terus-menerus. Cyberbullying merupakan bentuk lain dari fenomena bullying yang selama ini diketahui, yang menggunakan berbagai perangkat teknologi, seperti komputer atau telepon genggam untuk menghina, mengejek, atau mempermalukan orang lain. Tindakan-tindakan melalui perangkat teknologi yang termasuk dalam cyberbullying, yaitu mengirimkan pesan atau gambar yang vulgar atau mengancam, menyebarluaskan infomasi yang bersifat pribadi milik orang lain, dan menyebarluaskan gambar atau informasi mengenai orang lain dengan sengaja untuk mempermalukan di tempat umum. Meskipun dilakukan secara verbal, cyberbullying tidak lebih baik dari kekerasan atau bullying yang dilakukan secara fisik.

Suatu penelitian menemukan bahwa cyberbullying memberikan dampak yang lebih parah dari traditional bullying atau bullying yang dilakukan secara fisik. Beberapa dampak yang dapat terjadi yaitu depresi berat, penurunan performa akademis, bunuh diri, dan berbagai gangguan emosi yang tidak mudah untuk disembuhkan. Dampak cyberbullying tersebut tidak hanya dialami oleh korban, tetapi juga dapat dialami oleh pelaku. Hal tersebut disebabkan karena cyberbullying dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, bersifat anonim, dan tidak adanya kesempatan korban untuk membalas langsung sehingga mendorong orang untuk bertindak lebih kejam di dunia maya.

Cyberbullying tanpa disadari dapat dilakukan oleh siapa saja dan menyebabkan permasalahan psikologis yang serius baik bagi korban atau pelakunya. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman atau imbauan agar berinternet dengan sehat sehingga tidak menjadi korban atau pelaku cyberbullying. Pertama, edukasi diri mengenai perilaku cyberbullying. Adanya pengetahuan mengenai cyberbullying akan membantu pengguna media sosial untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan internet. Edukasi tersebut meliputi pengertian, dampak, hingga strategi agar terhindar dari cyberbullying. Kedua, batasi pemberian informasi diri yang mendetail di media sosial, termasuk dalam mempublikasikan foto diri. Saat mem-posting sesuatu di internet sebaiknya tidak menyertakan informasi yang detil dan foto diri yang berlebihan. Hal tersebut karena informasi yang ada rawan disebarluaskan untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, hati-hati dalam mempublikasikan sesuatu di internet sehingga tidak memancing reaksi negatif. Dalam hal ini, mengontrol diri dalam mem-posting sesuatu di internet sangat diperlukan. Hindari postingan yang dapat memancing emosi negatif para pengguna internet dan merusak reputasi. Keempat, berikan informasi pribadi hanya pada orang-orang yang dikenal. Jalinlah pertemanan dengan orang-orang yang dikenal dan berikan informasi pribadi pada orang-orang tertentu yang berkepentingan. Kelima, jangan membuka pesan dari orang yang tidak dikenal. Keenam, perkuat sistem keamanan akun-akun media sosial yang dimiliki dengan tidak membagi sandi akun media sosial kepada orang lain dan dengan sandi yang tidak mudah diketahui. Ketujuh, bersikap santun dalam berinternet dan jangan menjadi pelaku cyberbullying. Meskipun komunikasi tidak dilakukan secara tatap muka, tetapi penggunaan bahasa yang santun dan tetap menghargai orang lain merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan.

Lalu, bagaimana jika di antara kita menjadi korban cyberbullying? Berikut ini terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan ketika menjadi korban cyberbullying. Pertama, tidak merespon aksi yang dilakukan oleh pelaku karena respon yang muncul akan semakin menyuburkan cyberbullying. Kedua, adukan kepada orang yang dapat dipercaya. Apabila anak-anak menjadi korban, diharapkan mereka mampu melaporkannya pada guru atau orangtua. Ketiga, simpan bukti-bukti adanya cyberbullying dan laporkan pada pihak berwajib untuk memberikan efek jera pada pelaku. Keempat, blokir akun yang mengganggu dan tingkatkan keamanan akun media sosial. Kelima, tetap bertindak sopan ketika berinteraksi di dunia maya.

Fenomena cyberbullying serta bagaimana dampak dan penanganannya sangat penting untuk diketahui. Semoga hal ini dapat menjadi perhatian kita bersama sebagai pengguna internet karena kini internet bukanlah sesuatu yang asing, melainkan sangat familiar dengan kehidupan sehari-hari. Penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan atau sekedar aktivitas pengisi waktu luang sehingga jika tidak disertai dengan kontrol diri yang baik, fenomena cyberbullying akan rentan terjadi dan dampaknya sulit untuk dihindari.

 

***

ditulis dan dimuat di Sayap Dewantara

 

#Mozaik 16: Bersabar terhadap Proses

dandelion

Hal yang wajar jika seseorang memiliki perencanaan akan hidupnya. Menjadi lumrah pula jika seseorang memiliki ekspektasi atas sesuatu yang akan ia hadapi. Akan tetapi, pada kenyataannya kita pun harus menyadari bahwa tidak setiap rencana akan berjalan seperti apa yang kita rencanakan atau harapkan. Ada hal yang lebih besar yang tidak dapat kita hindari, yaitu ketetapan Allah. Maka bersabar adalah hal terbaik untuk dilakukan saat menemui kenyataan yang mungkin tidak sesuai dengan rencana.

Sabar bukan berarti diam. Sabar juga bukan berarti menahan emosi dan membiarkannya tertumpuk di dalam diri. Sabar, dalam konsep psikologi menurut Pros. Subandi terdiri dari lima hal, yaitu (1) pengendalian diri, yang termasuk di dalamnya mengendalikan emosi dan keinginan, berpikir panjang, memaafkan kesalahan, toleransi terhadap penundaan; (2) tabah dan bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh; (3) gigih, ulet, bekerja keras untuk mencapai tujuan dan mencari penyelesaian masalah; (4) menerima kenyataan pahit dengan ikhlas dan tetap bersyukur; (5) tenang dan tidak terburu-buru.

Untuk setiap langkah yang sedang kita tempuh, proses yang mungkin terasa tidak mudah, dan perjuangan yang mungkin sering mendatangkan rintangan, bersabarlah. Ajak diri untuk bersyukur lebih dulu karena syukur membantu kita untuk bisa menerima. Dengan menerima, kita akan lebih mampu mengendalikan diri dan tetap tenang dalam menghadapi semua. Tentunya dengan menerima, hati menjadi lebih tenang.

***

Jalan ini akan sampai pada ujungnya.
Ada dua pilihan untuk mencapainya:
Menjalani dengan sepenuh hati atau dengan setengah hati dan penuh keluh.
Ketika ada pilihan yang menyenangkan kenapa pilih yang memberatkan?

Bacaan:

Subandi. (2011). Sabar: Sebuah konsep psikologi. Jurnal Psikologi, 2(38), 215-227.

#Mozaik 15

A : “Mbak, ngapain sih aku harus ketemu psikolog lagi? emang masalahku serius banget? Aku ngerasa nggak ada masalah kok..”

B : *nyengir* “Emang kamu nggak kangen aku? Aku kan pingin ngobrol-ngobrol sama kamuu..”

 Satu jam kemudian, ia menangis dan menumpahkan segala emosinya. Selama dua jam kami bersama dan akhirnya ia mengeluarkan banyak hal tanpa merasa terhakimi oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.

 

***

Anak ini memang tidak datang sendiri kepadaku. Walinya mengajukan untuk dilakukan asesmen dan pendampingan psikologis. Kisah hidup dan masalah yang ia alami hampir mirip dengan kasus sebelumnya, yaitu KDRT. Bagiku, mereka hebat karena telah mampu bertahan dari masa-masa sulit menjadi saksi atau bahkan mungkin korban langsung dari kekerasan di lingkungan yang seharusnya menjadi lingkungan “teraman” mereka dan dari orang-orang yang harusnya melindungi mereka. Tapi dalam mozaik ini, bukan permasalahan mereka yang ingin kubicarakan melainkan bagaimana awalnya mereka bermula dari perasaan “baik-baik saja” atau “tidak punya masalah”

Tidak hanya mereka, mungkin kita pun demikian. Jika ditanya, “apa masalahmu?”, “kamu ada masalah apa?” sontak akan menjawab, “nggak, aku nggak ada masalah apa-apa kok.”. Salah seorang profesorku berkali-kali mengatakan bahwa perasaan tidak ada masalah itu justru masalah dalam dirinya. Aku pun sempat memiliki jawaban “aku nggak ada masalah.. bingung, apa ya masalahnya..” tapi, begitu tersentil pada satu hal, whaaa panjanglah ceritanya. Hahaha. Apakah kamu juga pernah mengalami hal yang sama? 😀

Hal demikian memang sering aku temui (dan pernah alami :p). Awalnya merasa diri tak ada masalah, tetapi setelah bercerita barulah kita tersadarkan ternyata memang ada yang belum selesai alias unfinished bussiness. Lalu, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal tersebut karena kita biasa memendam atau mengabaikan masalah/ketidaknyamanan sehingga akhirnya tertekan terus terus ke dalam diri – yang kemudian dapat muncul lagi kapanpun ia mau tanpa broadcast –. Masalah yang tak disadari itu juga yang sering menimbulkan tanya, “mengapa kita merasa sedih tanpa alasan?”, “mengapa kita tiba-tiba tidak ada mood tanpa kita tahu sebabnya?”, dan banyak lagi lainnya.

Profesorku pernah berkata bahwa orang yang sehat atau baik-baik saja, bukanlah mereka yang tanpa masalah melainkan mereka yang dapat menghadapi masalah dan menyelesaikannya. Dalam menghadapi masalah, ada tiga tipe respon yang dimunculkan seseorang. Pertama adalah fight, respon seseorang yang cenderung menghadapi masalah atau ancaman yang datang pada dirinya dengan menyerang. Kedua, flight, respon seseorang yang cenderung menghindari masalah atau ancaman yang datang pada dirinya. dan ketiga, freeze, respon seseorang yang cenderung akan diam sejenak menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Ketiga respon tersebut dapat terjadi tanpa adanya penyelesaian masalah yang baik. Lalu, manakah yang terbaik ketika menemui masalah? Yang terbaik adalah ketika kita bisa menerima masalah tersebut, menghadapi, dan menyelesaikannya.

Jadi teman, belajarlah untuk terbuka menerima masalah atau ketidaknyamanan yang dihadapi, sekecil atau sesederhana apapun itu. Tidak harus dengan menceritakan kepada orang lain, minimal diri sendiri mampu menerima keberadaan masalah tersebut sehingga kita dapat menyelesaikannya. Sertakan juga Allah dalam setiap pengambilan langkah, agar selalu diberikan kekuatan dan kemantapan dalam menghadapi tantangan-tangan yang ada di depan. :’)

Sekarang, apakah kamu sadar masalah yang kamu miliki? Lalu, tipe apakah kamu dalam merespon masalah? Apakah kamu selalu menyelesaikannya? 🙂