#Mozaik 14: Tentang Melupakan

Rasa-rasanya setiap orang pernah mengalami situasi atau kondisi yang tidak menyenangkan. Tidak sedikit yang memilih untuk menekan ke dalam diri rasa benci, sedih, kecewa, atau marah yang muncul dengan harapan semua itu akan berlalu begitu saja. Atau, banyak juga yang memaksa diri untuk melupakan namun ternyata hal tersebut sulit untuk dilakukan.

Dari sebuah proses konseling dengan salah seorang pasien di puskesmas, aku mendapati sesuatu yang menarik untuk dibagikan, yaitu tentang melupakan. Seringkali orang berpikir bahwa untuk berdamai dengan suatu keadaan, ia harus melupakannya. Namun pada kenyataannya, semakin seseorang berusaha untuk melupakan, justru ia akan semakin mengingatnya. Mengapa demikian? karena dalam proses “memaksa” untuk melupakan, kita akan terus memikirkannya sehingga akan selalu ingat. Itulah mengapa banyak yang berkeluh, “sulit melupakan”. Kalau kata Mas Duta Sheila on 7, “melupakan tak akan mudah, walau kau telah yakin merelakan.”  :))

Berdamai dengan diri sendiri; berdamai dengan keadaan bukanlah tentang melupakan, melainkan tentang menerima. Sesiapa yang bisa menerima, maka ia akan bisa melupakan. Tetapi jika ia tidak bisa menerima, maka sulit baginya untuk dapat melupakan. Dan dalam proses menerima, kita juga diajarkan mengenai maaf dan ikhlas.

#Mozaik 13: Posyandu Remaja

posyandu remaja.jpg

Setiap puskesmas di DIY memiliki kegiatan yang berbeda-beda. Satu diantara banyaknya kegiatan di puskesmas tempatku praktik adalah posyandu remaja. Aku sendiri baru mendengar program posyandu remaja dan sore tadi adalah pertama kalinya mengikuti kegiatan posyandu remaja – sebelumnya ngira kalau posyandu itu buat anak-anak aja ^^’–. Mirip dengan posyandu anak, kegiatan posyandu remaja diawali dengan pemeriksaan kesehatan, seperti penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, dan tekanan darah. Bedanya, peserta posyandu ini adalah remaja yang tinggal di lingkungan RW tersebut.  Rata-rata mereka adalah pelajar SMP, SMA/SMK, dan mahasiswa. Selain pemeriksaan kesehatan, juga diadakan penyuluhan atau penyampaian materi dari puskesmas atau pengurus PKK –dan aku menjadi korban pembicara dadakan untuk penyuluhan sore tadi :v–

Ada beberapa hal yang membuatku takjub dengan kegiatan ini. Pertama, ibu-ibu kader puskesmas dan PKK tampak kompak serta semangat dalam mempersiapkan acara ini. Saat aku tiba di lokasi, meja dan kursi sudah tertata rapi, terlebih lagi snack-nya *ini penting! :p*. Tak ketinggalan, Pak Ketua RW yang turut hadir selama kegiatan. Kedua, ibu-ibu non-kader puskesmas yang memenuhi undangan posyandu remaja. Jadi, penyuluhan ini tidak hanya diberikan kepada remaja, tetapi juga orang tuanya. Ketiga, remaja yang mau menghadiri posyandu dan juga menjadi petugas pemeriksaan kesehatan. Dalam posyandu ini, yang melakukan pengukuran dan pengecekan kesehatan bukanlah ibu-ibu kader, melainkan remaja yang telah dilatih. Suasana tampak sangat menyenangkan di mana mereka memanggil satu persatu teman-temannya untuk ditimbang, diukur tinggi badan, dan tekanan darahnya. Bahkan ada petugas (remaja) yang sampai jinjit-jinjit saking tingginya kurang dari tinggi teman yang sedang ia periksa :)).

Saat permainan dan materi disampaikan pun, para remaja tampak antusias mengikuti dan merespon. Bahkan, ibu-ibu tak kalah hebohnya dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Sedikit ngobrol dengan salah satu pengurus PKK, beliau mengatakan bahwa karang taruna di kampung tersebut memang telah mati dan posyandu remaja adalah salah satu ikhtiar untuk menghidupkan semangat kepemudaan di sana. Menurut beliau, remaja di kampung tersebut sangat antusias dalam kegiatan yang belakangan ini dilakukan (termasuk posyandu remaja). Mendengarkan cerita beliau, aku salut dengan semangat para kader puskesmas dan ibu-ibu PKK ini. Mereka sangat rajin mengadakan program untuk masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Begitu juga dengan para remajanya. Besarnya semangat dan energi yang mereka miliki akan sangat sayang jika tidak diarahkan kepada hal-hal positif. Semoga adanya posyandu remaja ini dapat menuntun remaja kampung tersebut menuju kegiatan-kegiatan positif sehingga terbentuklah remaja tangguh yang bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya. ohya! kegiatan ini rutin lhoo, 2 bulan sekali. 🙂

***

#ntms: sepertinya aku kurang main ke puskesmas, sebelumnya.. ternyata banyak kegiatan yang menyenangkan di sini. hahaha ^^’ 

#Mozaik 12: Poli Psikologi

“Gue baru tahu, ada layanan psikologi di puskesmas wir..”

“Hah, emang ada ya wir??”

foto puskesmas

Yah.. begitulah kira-kira respon beberapa teman yang tahu bahwa aku akan melakukan praktik kerja di salah satu puskesmas. Memang belum banyak orang yang tahu bahwa di puskesmas (khususnya provinsi DIY) sekarang ini ada poli psikologi. Di poli psikologi, banyak layanan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, seperti konseling untuk ibu hamil, calon pengantin (caten), pemeriksaan psikologis untuk jama’ah haji, dan konseling permasalahan psikologis baik bagi anak-anak, remaja, ataupun orang dewasa. Biayanya pun jauh lebih murah daripada mengikuti konsultasi psikologi di biro-biro.

Hanya saja, ternyata masih banyak masyarakat yang belum tahu, apa dan bagaimana. Ditambah lagi, adanya kekhawatiran yang besar mengenai pandangan masyarakat yang “kurang tepat” mengenai konsultasi psikologi. Banyak masyarakat yang masih mengasosiasikan konsultasi psikologi dengan adanya gangguan jiwa yang berat. Orang yang datang dan konsultasi dengan psikolog sering ditafsirkan dengan memiliki gangguan atau masalah kejiwaan. Hal tersebut yang seringkali membuat sebagian orang tidak mau datang ke psikolog, takut dianggap memiliki gangguan kejiwaan atau menolak dirinya memiliki “masalah” dalam dirinya. 😦

Hampir semua puskesmas yang ada di Yogyakarta menempatkan poli psikologi di lantai 2 atau di tempat yang jauh dari kursi tunggu pasien. Hal tersebut untuk menjaga kenyamanan dan kerahasiaan pasien. Bahkan, ada pula pasien yang memilih melakukan konsultasi psikologi di puskesmas yang jauh dari rumahnya, agar tidak bertemu dengan tetangga kanan-kiri rumah. Hal tersebut menunjukkan bagaimana masyarakat masih beranggapan bahwa psikologi selalu dikaitkan dengan masalah kejiwaan yang berat atau serius (yang memalukan). Namun pada kenyataannya, tidak demikian.

Bagiku, justru orang yang mau konsultasi ke psikolog atas permintaannya sendiri itu perlu diapresiasi karena menandakan bahwa ia sadar dengan masalah yang ada di dalam dirinya dan memiliki keinginan untuk menyelesaikannya –karena tidak semua orang dapat menyadari “masalah” dalam dirinya–. Dengan individu melakukan konsultasi psikologi atas ketidaknyamanan yang dirasakan dalam dirinya akan mencegah terjadinya masalah atau gangguan psikologis yang lebih berat. Dan lagi, psikolognya kan baik-baik padahal~~ :)))

#Mozaik 11: Keyakinan Dalam Hati

penting untuk memiliki keyakinan dalam hati, sebelum kita dapat meyakinkan orang lain.

ini bukan perkara bisa atau tidak bisa, karena ketika kita berani membangun sebuah mimpi maka kita harus berani percaya bahwa hal tersebut memang akan terjadi.

oh, dan seseorang pernah berkata,
“jika kamu ragu, kamu tidak akan mendapatkannya sama sekali.”

🙂

 

Yogyakarta, 20 Juni 2016. 11.40 pm

Nama Lengkap

Beberapa hari yang lalu, seorang teman bertanya dengan wajah keheranan.. “Wir, rajin amat sih nge-save nomer di kontak lengkap amat.. ini juga nomer-nomer di group di save in.. aku aja enggak wkwk. sementara ia, hanya menyimpan kontak dengan nama panggilan. Kemudian aku bertanya balik kepadanya, “kamu seneng nggak kalau aku hafal nama lengkapmu?” dan dia pun menjawab, “yaa seneng siiihhh..”. 

Obrolan lain juga pernah terjadi ketika seorang teman keheranan karena aku menghafal beberapa nama panjang teman-teman yang lain. Ketika ia bertanya bagaimana aku bisa menghafalnya, aku hanya nyengir dan berkata, “kan aku nge save di hp pake nama lengkap”. 😀

Obrolan-obrolan tersebut kemudian mengingatkanku pada beberapa tahun yang lalu, ketika aku menjadi mahasiswa baru di UI dan mengikuti sebuah kegiatan dari kakak-kakak tingkat.

Pada kegiatan tersebut, aku mendapatkan tugas untuk membaca dan me-resume sebuah buku berjudul “At Thariq Ilal Quluub” atau “Bagaimana Menyentuh Hati” karya Abbas As-Siisiy. Dari tugas tersebut dan penjelasan seorang kakak tingkat, aku terinspirasi untuk mulai menyimpan kontak di handphone dengan nama yang lengkap. Hal tersebut kulakukan untuk memudahkan aku dalam mengingat nama lengkap orang-orang yang berinteraksi denganku atau berada di lingkaran interaksiku.

Penting yang seperti itu? pentingg, apalagi untuk orang yang mudah lupa nama tapi ingat wajah, sepertiku ini *maklum, anak visual*. Meskipun pernah beberapa kali lupa nama panggilan atau nama “gaul” dari teman yang sudah lama nggak kontak. Alhasil, harus kepo dulu siapa nama “gaul” dia dulu. Segitunya? yaa, ini tentang pelajaran “menyentuh hati” yang aku dapatkan dari tugas me-resume buku karya Abbas As-Siisiy.

Dalam bukunya, beliau menuliskan bahwa salah satu cara menyentuh hati adalah dengan menghafal nama. Dengan menghafal nama, secara psikologis orang akan merasa diterima dan akan muncul saling percaya. Bahkan beliau mengatakan, bila perlu kita menuliskan nama-nama orang setelah berkenalan sehingga ingatan tentang nama itu semakin lekat pada ingatan kita. Memperhatikan wajah dan keadaannya saat berkenalan, seperti apakah berkaca mata, pakaian, kerudung, ekspresi juga dapat memudahkan kita dalam mengingat nama.

Oleh karena itu, menuliskan nama lengkap di kontak handphone adalah salah satu ikhtiarku untuk menghafalkan nama, baik orang yang sudah kukenal maupun belum namun ada dalam lingkaran interaksi yang sama. Bukankah hal ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk memperluas jaringan dan mengeratkan ukhuwah? 😀 Tapi, apalah arti menyimpan kontak dengan nama lengkap tanpa dibarengi dengan tegur sapa.. Semoga di bulan Ramadhan ini, dapat kembali menyapa kawan-kawan lama yang mungkin sudah lama tidak berinteraksi sekedar untuk mengetahui kabar. 🙂

 

 

Berpuasa, Menyehatkan Jiwa

Rampuasa jiwaadhan merupakan bulan yang penuh dengan kemuliaan dan keberkahan. Pada bulan Ramadhan, seluruh umat Islam di dunia diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Secara terminologis, puasa merupakan suatu bentuk ibadah dengan cara menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan perbuatan-perbuatan yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Sebagai sebuah aktivitas ibadah, puasa diketahui dapat memberikan dampak yang positif terhadap kesehatan umat manusia. Tidak hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kesehatan jiwa individu [1].

Kesehatan jiwa adalah keharmonisan antara fungsi-fungsi jiwa serta kesanggupan untuk menghadapi masalah yang terjadi serta terhindar dari kegelisahan dan konflik batin [2]. Kriteria kesehatan jiwa yang ditetapkan oleh WHO, yaitu mudah beradaptasi, merasa puas dengan hasil jerih payang usahanya, lebih suka memberi daripada menerima, relatif terbebas dari rasa tegang dan cemas, mampu mengembangkan sikap dan perilaku positif dalam berhubungan dengan orang lain, menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pembelajaran, mampu mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian masalah yang kreatif dan konstruktif, dan mempunyai kasih sayang yang besar terhadap sesama [3]. Dengan kata lain, individu yang sehat secara mental adalah individu yang dalam tingkah lakunya dapat serasi dan tepat, serta diterima oleh masyarakat umum sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang saling memuaskan.

Apabila ditinjau lebih dalam, inti dari ibadah puasa adalah pengendalian diri atau self-control. Self-control dimaknai sebagai kemampuan individu untuk menahan diri atau mengarahkan diri ke arah yang lebih baik ketika dihadapkan dengan godaan-godaan [4]. Di dalam self-control, terdapat dua dimensi, yaitu mengendalikan emosi dan disiplin. Ketika berpuasa, individu diajak untuk dapat mengendalikan keinginan, membangun interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya, dan mengendalikan marah [5]. Di samping itu, juga mengarahkan diri pada aktivitas-aktivitas yang mendekatkan pada kemuliaan berpuasa untuk beribadah kepada Allah S.W.T. Pengendalian diri atau self-control ini menjadi penting karena merupakan salah satu komponen utama untuk menjadi individu dengan jiwa yang sehat [6]. Adanya kemampuan pengendalian diri yang baik akan mampu mengarahkan tingkah laku individu secara tepat dan diterima oleh masyarakat umum. Individu dengan pengendalian diri yang baik akan memiliki optimisme, energi yang positif, mampu menyelesaikan masalah, dan mampu mengendalikan emosi sehingga akan terhindar dari gangguan kesehatan jiwa baik ringan maupun berat. Jika pengendalian diri tersebut terganggu, akan timbul berbagai reaksi patologik yang tidak hanya menimbulkan konflik bagi individu namun juga lingkungan sekitar [7].

Dari uraian di atas, puasa dapat dilihat sebagai sarana menyehatkan jiwa karena mampu melatih individu dalam mengendalikan diri dari dorongan yang muncul, baik dari internal maupun eksternal. Puasa dapat menjadi momentum yang baik untuk membentuk jiwa yang sehat, tidak hanya secara fisik namun juga secara mental, di samping sebagai sarana untuk meningkatkan level keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah S.W.T.

***
[1] Mousavi, S.A., Rezaei, M., Amiri Baghni, S., & Seifi, M. (2014). Effect of fasting on mental health in the general population of kermanshah iran. Journal of Fasting and Health, 2(2), 65-70.
[2] Bastaman, H.D. (1995). Intergrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[3] Hawari, D. (2002). Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Bala Penerbit FK UI.
[4] Hofmann, W., Baumeister, R.F., Förster, G., & Vohs, K.D. (2011). Everyday temptations: An experience sampling study on desire, conflict, and self control. Journal of Personality and Social Psychology.
[5] Abdar, Z.E., Dehghani, L., Abdar, M.E., & Tajadini, H. (2016). Analyzing the effects of the Ramadan on the mental and social aspects of kerman’s university of medical sciences’ personnel. Revue Litteraire Mensuelle, 542-546.
[6] Boals, A., Vandellen, M.R., & Banks, J.B. (2011). The relationship between self-control and health: The mediating effect of avoidant coping. Psychology & Health, 26(8), 1049-1062.
[7] Hawari, D. (2002). Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Bala Penerbit FK UI.

#Mozaik 10

Hari ini memasuki pekan kedua exit test, ujian kesiapan sebelum praktik kerja di RSJ dan puskesmas. Setiap orang mulai sibuk. Mulai dari mengatur jadwal bertemu dengan klien sampai mempersiapkan laporan pemeriksaan. Di momen-momen seperti inilah, aku merasa menjadi mahasiswa S2 seutuhnya. wkwk..

Tiba masa exit test, itu artinya sudah 2 semester berjalan program kuliahku dan semakin dekat pula dengan masa praktik sebagai psikolog muda dan ujian HIMPSI. Seharusnya, bertemu klien sudah menjadi hal yang biasa. Pada kenyataannya, bertemu klien merupakan momen-momen yang menegangkan bagiku. Kamu pernah merasa cemas? Merasakan tubuhmu yang tiba-tiba lemas, perut yang mendadak mules, atau pikiran yang jadi tak karuan -itu namanya, Psikosomatis-. Seolah, pada saat itu kamu ingin melakukan pekerjaan yang lain tapi pikiranmu tidak bisa lepas dari apa yang kamu cemaskan? Nah, itulah yang sering terjadi. (okok)

Tapi, rasa itu kemudian dapat teratasi tiap kali aku mencoba mengambil nafas dalam dan melepaskan segala beban dari setiap anggota tubuh -kaki hingga kepala-, beristighfar, dan berdo’a meminta kemudahan. Relaksasi. Ditambah lagi, berusaha mengingat perasaan lega, bahagia, dan semangat yang kembali muncul setiap kali mengakhiri sesi dengan klien. Setiap kasus adalah tantangan bagiku. Tantangan untuk bisa membantu mereka menyelesaikan masalahnya sendiri dan sekaligus tantangan untuk selesai dengan diriku sendiri. Dan, salah satu tantangan itu adalah sesi terapi kelompok.

Sesi terapi kelompok yang saat ini berjalan adalah tentang impulsive buying. Tak terasa kami sudah memasuki sesi keenam dalam proses terapi ini. Jujur, selalu ada kebingungan, kecemasan dalam menjalankan terapi ini. Kecemasan yang akhirnya memunculkan sedikit rasa enggan. Akan tetapi, setiap sesi terapi dimulai, peserta yang selalu aktif dan inisiatif dalam berproses membuatku kembali bersemangat. Apalagi, di sesi keenam ini peserta menceritakan pengalaman impulsive buying mereka yang semakin menurun keparahannya. Mereka menceritakan kemajuan mereka dengan raut wajah tersenyum senang, saling memberikan masukan dari keberhasilan dan sekaligus kegagalan mereka dalam mencoba strategi yang telah mereka susun, serta saling menyemangati satu sama lain. Sangat terasa kesungguhan mereka untuk keluar dari perilaku impulsive buying menjadi healthy buying. Menangkap semangat itu, melihat dinamika dalam proses, membuatku selalu merasa senang dan lega setiap kali sesi berakhir.

Enam kali sesi telah berjalan, enam kali merasa cemas setiap kali mempersiapkan sesi, dan enam kali merasakan bahagia setelah mengakhiri sesi. Hal tersebut membuatku belajar, bahwa kita harus mampu melawan kecemasan. Kekhawatiran atas sesuatu yang belum terjadi, tentunya harus dimaknai dengan perlu adanya persiapan terbaik dan do’a yang terus dipanjatkan. Dan yang terpenting adalah kecemasan tersebut harus dibuktikan dengan action. Untuk membuktikan bahwa apa yang kita cemaskan itu pada kenyataanya hanya ada di dalam pikiran.

Jadi, yang perlu dilakukan hanyalah mempersiapkan yang terbaik dan memulainya! 🙂

Mungkin kamu juga pernah mengalaminya?

Workshop Parenting Skill: Getting Closer to Your Children #1

Dari survey singkat yang dilakukan mahasiswa Mapronis (Magister Profesi Klinis) XII UGM tentang tema workshop parenting yang dibutuhkan oleh para praktisi dan orang tua, ternyata paling tinggi adalah tema “Gadget pada anak”. Penggunaan gadget pada anak memang menjadi issue yang sering diperbincangkan oleh ibu-ibu di group yang banyak orang tuanya *dan aku menjadi segelintir anak muda yang ada di group itu :3*. Wajar saja, teknologi sudah semakin maju, gadget di mana-mana dan gadget terlalu mengasyikkan untuk anak-anak (bahkan orang dewasa). Terlebih, banyak orang tua yang merasakan khasiat ampuh gadget sebagai “penenang” anak-anak mereka di kala riweuh atau rewel. Lalu, apa yang membuat orang tua resah dengan kehadiran gadget ini??

Nyatanya, di lapangan banyak sekali kasus yang terjadi berkaitan dengan penggunaan gadget ini, seperti perilaku kekerasan yang dilakukan anak akibat dari paparan games, paparan pornografi yang dapat diakses dengan mudah melalui internet, adanya penurunan motivasi dan prestasi belajar anak, keterlambatan perkembangan verbal, dan dampak fisiologis seperti sakit mata. Lalu, apa yang perlu orang tua atau significant others lakukan dalam menjalankan perannya sebagai pendamping anak di era teknologi yang semakin canggih ini?

Gadget adalah suatu perangkat elektronik kecil yang memiliki banyak fungsi khusus, sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan individu (Garini, 2000). Gadget diasosiasikan dengan produk teknologi informasi seperti telepon genggam, perangkat GPS, perangkat permainan, atau mobil dengan radio jarak jauh. Penggunaan gadget di Indonesia dapat dikatakan tinggi melihat posisi Indonesia di no empat di Asia sebagai negara paling tinggi angka penggunaan internetnya. Tentunya, penggunaan gadget ini akan mendatangkan dampak positif maupun negatif.

Anak/remaja dengan penggunaan gadget akan memiliki wawasan yang lebih luas dan inovatif. Sementara itu, Tapscot (2008) menemukan bahwa anak/remaja dengan penggunaan yang tinggi pada gadget akan rentan menunjukkan simtom Attention Deficit Disorder, sulit mengembangkan kemampuan sosial, kurang sensitif dengan hal-hal pribadi, kurang peduli dengan sekitar, menghabiskan waktu untuk online, dan bahkan cyber bullying.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya dampak negatif akibat penggunaan gadget yang berlebihan dan tidak terkontrol pada anak, terlebih kaitannya sebagai orang tua?

Dr. Neila Ramdhani mengatakan bahwa melarang penggunaan internet bukanlah solusi yang tepat untuk dilakukan. Berikut adalah tips pola parenting anak menurut Dr. Neila:

  1. Kenalkan gadget dan batasan-batasan penggunaan pada anak. Beberapa ahli menyarankan pada usia 6 tahun di mana perkembangan anatomi otak anak telah meningkat sebesar 95% otak dewasa. Dalam mengenalkan penggunaan gadget ini harus sesuai dengan kebutuhan anak dan perkembangan usianya.
  2. Modelling. Tentunya, hal pada no 1 tersebut memerlukan contoh dari orang tua tentang kapan penggunaan gadget dan bagaimana penggunaan yang tepat. Orang tua harus dapat memberikan contoh untuk tidak terlalu asyik dengan gadget-nya.
  3. Upayakan adanya waktu keluarga untuk saling berinteraksi dan bercerita sehingga anak mengisi waktunya dengan interaksi dengan anggota keluarga, bukannya interaksi dengan gadget.
  4. Mengenalkan pada anak, aktivitas yang disukai untuk mengisi waktu luang.
  5. No internet connection at home. Rumah, khususnya kamar anak tidak perlu dipasang akses internet dan TV.
  6. Dampingi anak ketika nonton TV, film, atau menggunakan internet.
  7. Tetapkan waktu-waktu yang diperbolehkan menggunakan gadget atau mengakses internet. Orang tua memiliki peranan penting untuk menjadi role model dalam menerapkan waktu-waktu khusus ini.
  8. Orang tua/dewasa harus meng-update keterampilan IT nya sehingga dapat mengetahui kemajuan teknologi pada zaman anaknya.
  9. Kontrol dan monitor.

Banyaknya dampak negatif yang muncul dari penggunaan gadget yang berlebihan ini tentunya membuat orang tua berusaha untuk semakin cermat dan mengusahakan tindakan-tindakan preventif. Semoga sedikit ulasan Workshop Parenting Skill: Getting Closer to Your Children (Gadget) yang dilakukan Sabtu, 16 April 2016 lalu dapat menambah wawasan bagi orang tua dan tentunya bermanfaat untuk pencegahan adiksi anak pada gadget.